Tidak
praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali
dalam satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja: dengan
berterimakasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala
sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif
dalam melihat segala sesuatu. Pasti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan
ada hitam setitik di dalam putih bersih.
Dengan
selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (believe) bahwa
memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari
oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan perlu
mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang
hayat.
Ah, tidak praktis,
mungkin ada yang berpendapat demikian. Sekali lagi bahwa ini tidak mengajarkan
untuk sukses dalam sealam, namun dengan mengubah mindset (pola pikir) maka segala faktor eksternal yang sering
menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus
sungai.
Berterima kasih dan
bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya
hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah dir. Jangan pikirkan “Pahal”
yang anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharap nasib akan
berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima kasih kepada orang
lain tanpa ada rasa keterpakasaan dan rasa canggung saja sudah merupakan
jembatan kita ke dalam hati orang itu.
“Terima kasih” tidak akan pernah
ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati
yang sedikit lebih lembut dari pada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnit
yang bisa membantu kita semua dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan
ke-engganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar
biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personifikasi dari
sukses itu sendiri. Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar